Kecil, kurus, berkulit sawo
matang, iya itulah Ariz si penjual koran yang setiap harinya menjajakkan
korannya di simpang jalan Gumarau. Ketika matahari pulang ke pelupuk langit,
Ariz justru keluar dari istana mungilnya nan sederhana dan berperang dengan
dinginnya malam demi beberapa lembar uang yang akan ia tabungkan untuk masuk ke
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bocah yang berkepala gundul itu memang masih
dua tahun lagi untuk dapat melanjutkan sekolahnya ke tinggat SMP, tetapi ia
sadar bahwa ia terlahir bukanlah dari keluarga yang berkecukupan, jadi ia
memutuskan untuk menjadi penjual koran untuk meringankan beban orangtuanya
dalam membiayai pendidikannya.
Ariz sudah empat tahun menggeluti
pekerjaannya ini. Tentunya sudah sangat biasa badan mungilnya terkena angin
malam yang meusuk sendi-sendi tulangnya. Tidak jarang koran yang ia jual
berterbangan karena hembusan angin dari kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang
di hadapannya. Harga koran yang ia jual pun tidak seberapa dengan waktu yang ia
telah korbankan hingga larut malam. Untuk seumuran Ariz, pada jam tersebut
harusnya diisi dengan belajar, bukan mencari nafkah.
Suatu hari Ariz bertemu dengan
salah satu kakak perempuan dari sebuah kota dan ia berprofesi sebagai reporter.
Kebetulan kakak tersebut sedang ditugaskan ke daerah dimana tempat itu tidak
jauh dari singgahsana si bocah kepala gundul tersebut. Ketika si kakak sedang
berjalan-jalan pada malam hari, pandangan pertama langsung tertuju kepada Ariz
yang sedang sibuk membereskan koran-korannya yang berterbangan. Kakak reporter
itu pun bergegas membantu Ariz karena memang tidak ada orang yang peduli untuk
membantunya. Padahal, banyak orang yang lewat namun hanya menoleh dan
memerhatikan Ariz yang sibuk berlari ke sana ke sini mengambil koran yang ia
jual berterbangan.
Kakak reporter tersebut
menghampiri dan kemudian bertanya pada Ariz, “hey... ini koranmu semua?”
kemudian Ariz menjawab, “oh ya, ini koranku kak” sambil tersenyum. Sambil ikut
membereskan koran, kakak reporter tersebut melanjutkan perbincangannya kepada
Ariz. Selama mereka berbincang, ada segerombolan mahasiswa yang ternyata sedang
mengadakan bakti sosial ke anak-anak jalanan. Para mahasiswa tersebut membawa
bungkusan makanan beserta minuman yang mungkin bagi Ariz, itu sangat mahal. Dan
ternyata, Ariz mendapatkan satu bungkusan makanan tersebut. Sangat terlihat
jelas Ariz sangat senang ketika memegang bungkusan makanan tersebut yang
kemudian dipangkunya.
Terdiam kakak reporter itu
memandang Ariz, kemudian dilanjutkan dengan bertanyanya kembali ia kepada Ariz,
“oh iya sampai lupa tanya nama. Nama kamu siapa?”, “Ariz, kak” jawab Ariz.
“kamu tidak takut menjual koran malam-malam, apakah kamu sudah makan” tanya
kakak reporter lagi. “kenapa harus takut? Aku datang ke sini dengan niat yang
baik kak hehehee... hmmm... aku belum kak” dengan sedikit tawa Ariz menjawab
pertanyaan tersebut. Kemudian, kakak reporter itu tiba-tiba terenyuh hatinya.
Iya ia terenyuh karena ketika ia menyuruh Ariz memakan makanan yang ada di
bungkusan itu, Ariz menjawab “enggak kak, ini buat ibu dan saudara-saudaraku.
Aku lima bersaudara kak” sambil menggenggam minuman yang didapatkan satu paket
dengan bungkusan makanan.
Di sisi lain, Ariz menjual koran
juga karena sang ayah yang telah meninggal. Yang bocah itu tahu hanyalah
menabung untuk sekolah dan membantu ibu
agar bisa menabahkan uang untuk makan esok. Sungguh seperti tidak ada beban
berat jika melihat Ariz yang selalu tersenyum dan memperlihatkan giginya ketika
ditanyakan sebuah pertanyaan. Selama 30 menit kakak reporter itu menemani Ariz
berjualan dengan sesekali melontarkan pertanyaan.
Namun, dari beberapa pertanyaan
yang paling menguras emosi adalah bahwa setiap Ariz akan pergi berjualan koran,
ia selalu mengaji sore terlebih dahulu dan kemudian diciumnya wajah Ariz oleh
sang ibu. Katanya ibu selalu mendoakan dirinya dan ada Allah yang menjagaku.
Sungguh hebat, anak sekecil itu sudah paham arti seseorang yang bisa bermanfaat
untuk orang banyak. Anak berumur sepuluh tahun itu sudah mengerti kalau doa ibu
akan selalu melindungi dirinya dimanapun ia berada. Karena sesungguhnya orang
baik akan selalu mendapatkan kebaikan dan begitu pula sebaliknya. Semua sudah
diatur oleh Allah SWT. Allah pula yang mendatangkan bencana bagi siapa saja
yang lupa pada-Nya dan tidak mencintainya. Maka, berbuat baiklah atas ridha
Allah bukan demi mendapat penilaian dari seseorang dan sungguh Allah Maha
Pelontar Bahaya bagi siapa pun.