Aku merindukannya. Teramat rindu tawanya, teramat rindu candanya. Dia selalu menari indah dalam ingatanku. Dia selalu hadir ditidur lelapku. Dia orang yang membunuh semua waktuku. Hanya untuk sekedar memikirkannya, mengkhawatirkannya dan membayangkan senyumnya

Jumat, 10 Maret 2017

Senyum Kecil, Si Penjual Koran

Kecil, kurus, berkulit sawo matang, iya itulah Ariz si penjual koran yang setiap harinya menjajakkan korannya di simpang jalan Gumarau. Ketika matahari pulang ke pelupuk langit, Ariz justru keluar dari istana mungilnya nan sederhana dan berperang dengan dinginnya malam demi beberapa lembar uang yang akan ia tabungkan untuk masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bocah yang berkepala gundul itu memang masih dua tahun lagi untuk dapat melanjutkan sekolahnya ke tinggat SMP, tetapi ia sadar bahwa ia terlahir bukanlah dari keluarga yang berkecukupan, jadi ia memutuskan untuk menjadi penjual koran untuk meringankan beban orangtuanya dalam membiayai pendidikannya.

Ariz sudah empat tahun menggeluti pekerjaannya ini. Tentunya sudah sangat biasa badan mungilnya terkena angin malam yang meusuk sendi-sendi tulangnya. Tidak jarang koran yang ia jual berterbangan karena hembusan angin dari kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang di hadapannya. Harga koran yang ia jual pun tidak seberapa dengan waktu yang ia telah korbankan hingga larut malam. Untuk seumuran Ariz, pada jam tersebut harusnya diisi dengan belajar, bukan mencari nafkah.

Suatu hari Ariz bertemu dengan salah satu kakak perempuan dari sebuah kota dan ia berprofesi sebagai reporter. Kebetulan kakak tersebut sedang ditugaskan ke daerah dimana tempat itu tidak jauh dari singgahsana si bocah kepala gundul tersebut. Ketika si kakak sedang berjalan-jalan pada malam hari, pandangan pertama langsung tertuju kepada Ariz yang sedang sibuk membereskan koran-korannya yang berterbangan. Kakak reporter itu pun bergegas membantu Ariz karena memang tidak ada orang yang peduli untuk membantunya. Padahal, banyak orang yang lewat namun hanya menoleh dan memerhatikan Ariz yang sibuk berlari ke sana ke sini mengambil koran yang ia jual berterbangan.

Kakak reporter tersebut menghampiri dan kemudian bertanya pada Ariz, “hey... ini koranmu semua?” kemudian Ariz menjawab, “oh ya, ini koranku kak” sambil tersenyum. Sambil ikut membereskan koran, kakak reporter tersebut melanjutkan perbincangannya kepada Ariz. Selama mereka berbincang, ada segerombolan mahasiswa yang ternyata sedang mengadakan bakti sosial ke anak-anak jalanan. Para mahasiswa tersebut membawa bungkusan makanan beserta minuman yang mungkin bagi Ariz, itu sangat mahal. Dan ternyata, Ariz mendapatkan satu bungkusan makanan tersebut. Sangat terlihat jelas Ariz sangat senang ketika memegang bungkusan makanan tersebut yang kemudian dipangkunya.

Terdiam kakak reporter itu memandang Ariz, kemudian dilanjutkan dengan bertanyanya kembali ia kepada Ariz, “oh iya sampai lupa tanya nama. Nama kamu siapa?”, “Ariz, kak” jawab Ariz. “kamu tidak takut menjual koran malam-malam, apakah kamu sudah makan” tanya kakak reporter lagi. “kenapa harus takut? Aku datang ke sini dengan niat yang baik kak hehehee... hmmm... aku belum kak” dengan sedikit tawa Ariz menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian, kakak reporter itu tiba-tiba terenyuh hatinya. Iya ia terenyuh karena ketika ia menyuruh Ariz memakan makanan yang ada di bungkusan itu, Ariz menjawab “enggak kak, ini buat ibu dan saudara-saudaraku. Aku lima bersaudara kak” sambil menggenggam minuman yang didapatkan satu paket dengan bungkusan makanan.

Di sisi lain, Ariz menjual koran juga karena sang ayah yang telah meninggal. Yang bocah itu tahu hanyalah menabung untuk sekolah  dan membantu ibu agar bisa menabahkan uang untuk makan esok. Sungguh seperti tidak ada beban berat jika melihat Ariz yang selalu tersenyum dan memperlihatkan giginya ketika ditanyakan sebuah pertanyaan. Selama 30 menit kakak reporter itu menemani Ariz berjualan dengan sesekali melontarkan pertanyaan.


Namun, dari beberapa pertanyaan yang paling menguras emosi adalah bahwa setiap Ariz akan pergi berjualan koran, ia selalu mengaji sore terlebih dahulu dan kemudian diciumnya wajah Ariz oleh sang ibu. Katanya ibu selalu mendoakan dirinya dan ada Allah yang menjagaku. Sungguh hebat, anak sekecil itu sudah paham arti seseorang yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. Anak berumur sepuluh tahun itu sudah mengerti kalau doa ibu akan selalu melindungi dirinya dimanapun ia berada. Karena sesungguhnya orang baik akan selalu mendapatkan kebaikan dan begitu pula sebaliknya. Semua sudah diatur oleh Allah SWT. Allah pula yang mendatangkan bencana bagi siapa saja yang lupa pada-Nya dan tidak mencintainya. Maka, berbuat baiklah atas ridha Allah bukan demi mendapat penilaian dari seseorang dan sungguh Allah Maha Pelontar Bahaya bagi siapa pun.